Monday

Popular Culture

Pernah pada suatu forum diskusi di tempat saya, forum diskusi bulanan oleh karang taruna saat itu. Terjadi obrolan menarik dengan rekan saya dari UGM Program S2 Politik disana. Bersama kami saling bertanya mengapa dengan jogja? Mengapa sekarang budaya tersingkir dan arah perubahan sikap bahkan sikap dari generasi penerus daerah ini mulai ke arah yang dapat dikatakan tak semestinya.

Kalau mau seksama kita amati, sekarang Jogja dan wilayah sekitarnya, mempunyai pola dan suasana yang tidak jauh berbeda dari kota bandung atau bahkan jakarta. Memang tidak bisa kita pungkiri begitu majunya dengan begitu cepat kota gudek ini. Mungkin beban dari kota pelajar inilah faktor utama yang perlu kita kaji ulang. Dengan stigma para pelajar dari penjuru nusantara yang sebagian mengatakan, kalau mau belajar ya jogjalah tempatya. Dari sinilah masalah timbul. Para pelajar yang Mayoritas dari luar jogja ini dengan tegas dan sangat ketara membawa budaya mereka ke jogja. Mulai dari cara bergaul, cara berpakaian, berpandangan serta dalam melakukan aktivitas sehari-hari mereka. Dan kesemua itu tanpa tersaring oleh keadaan sosial ataupun norma-norma yang berlaku di jogja. Hal ini menyebabkan mau tidak mau kita sebagai orang “jawa” menerima dan “mengetahui” hal tersebut.

Kita mengetahui sebagai contoh kecil, dimana di budaya kejawen kita akan adanya unggah ungguh dalam lewat di depan orang dengan permisi. Dengan mudah sekarang kita lihat hal tersebut mulai tidak terlihat di beberapa titik dijogja. Khususnya daerah daerah yang menjadi tempat hunian para mahasiswa “urban” ini. Belum lagi tentang budaya berpakaian, yang secara khusus di jogja bahwa kesopanan dalam berpakaian merupakan hal yang mutlak. Namun, sekarang kita tahu “pawai” dan “pameran” paha dan pantat hampir terjadi di sekitaran jogja. Tidak ditugu, di benteng ataupun di tempat-tempat umum lainnya.

Belum lagi tentang eksis yang kadang tidak layak untuk dilakukan. Saya yakin bila dijelaskan akan panjang banget. Misal foto foto di aset budaya yang dulunya dilakukan oleh kaum pendatang saja. Yang mungkin hanya dilakukan untuk diabadikan bahwa mereka pernah ke jogja. Yang kadang mereka tidak tahu akan norma-norma disana. Dan sekarang orang pribumi pun ikut ikutan yang mungkin meraka harusnya tau akan kehormatan dari aset budaya tersebut.

Lantas apa pengaruhnya dengan remaja dan mahasiswa “kejawen” kita??? Pertanyaan yang kalo mo dijawab buat streessss memang…

Aneh tapi membingungkan. Kemungkinan adalah rasa terbuka kita. Kita tahu dengan orang kita yang dapat dikatakan “kagum” atau “terpesona” atau bahkan “kepengen” dan “gaul” lah. Secara tidak kita sadari secara pelan remaja dan mahasiswa (baca:REMA) kita ikut ikutan. Sekarang kita tau, mungkin bagi anda yang mempunyai anak melakukan kegiatan atau pun hal-hal yang telah menyimpang dari “jogja”. Hot pant pun menjadi hal biasa yang kita tau. Budaya tanpa permisi, dan yang paling mengecewakan adalah kesan anak jogja tidak terlihat lagi dengan tidak digunakan lagi bahasa kita. Lebih memilih bahasa gaul dan funky kata mereka.

Jangan kita mungkir, seberapa REMA yang bisa bahasa jawa? Apa mereka tau seluk beluk keraton? Apakah gudeg wijilan mereka tau “rasanya”? apa mereka tau cara memperlakukan tugu jogja? Apakah mereka bisa bermain gamelan? Apa mereka bisa menari khas jogja? Lantas apa mau dibanggakan? Perhatikan lagi, ada pepatah mengatakan “NEGARA DAN ORANG ADALAH MEREKA YANG MAJU DAN CERDAS SERTA TIDAK KETINGGALAN JAMAN APABILA MENJUNJUNG TINGGI BUDAYANYA SENDIRI”. Memang tidak sepenuhnya kita salahkan pada REMA. Hanya saja kita yang belum bisa menyaring hal hal dari luar yang masuk yang belum tentu tepat untuk kita. Sekarang apa sinkron ketika “Kota budaya” dibanjiri distro-distro pinggiran jalan? Apa “maen” kota budaya penuh nyaman dikelilingi oleh cafĂ©, club malem dan mal? Heheheh bagi orang luar oke, namun tunggu dulu. Tepat ni? Tepat disini mungkin iya, selama kita mampu menyaring dan mampu membuat segmentasinya. Bahkan Pak Sri Sultan sendiri pernah kecewa dengan pembanguna salah satu tempat perbelanjaan, hal ini lah salah satu indikasi kurangnya filter untuk jogja kita. Kota budaya kota berhati nyaman? Ni kota mana? Bandung?jakarta? ato jogja? Gimana kita mau menjawab perntanyaan ini…

Lalu idealny? Sebenarnya hal yang membuat salut adalah budaya yang hampir “serumpun dan serasa” dengan jogja, Bali. Dulu saya kenal dengan kerabat belajar. Putu dan Ketut. Yang disalutkan adalah mereka berdua mampu menujukkan kekayaan daerahnya. Kemampuan putu dalam memperagakan tari bali dan permainan alat musik bali yang hebat dari seorang Ketut. Sungguh hal yang menginspirasi untuk remaja usia SMA saat itu. Lantas kita? Ternyta di Bali dalam mempertahankan budaya sangat luar biasa. Disana terbangun hotel, kafe dls. Namun, karena penanaman budaya kedalam diri remaja sangat tinggi, maka secara otomatis pengaruh pengaruh dapat diatasi. Suasana yang indah di sana, ketika di setiap sudut rumah para remaja memakai pakaian adat mereka dan belajar tari bali dan gamelan disana. Dan terlepas dari pengaruh seperti yang jogja dan sekitarnya alami.

Dan sekarang pertanyaan, KOTA BUDAYA MANA YA? Apakah Jogja? Jakarta? Atau Bandung? Bisa saja terjadi. Karena lama-lama akan terpukul rata diantara kota itu. Segeralah bergerak dan selamatkan budaya jogja, minimal kita menikmatinya saja.

STOP POPULAR DAN URBAN CULTURE!!!

3 comments:

  1. inilah sebuah keprihatinan yang benar benar harus kita perhatikan. dan segera kita tanggulangi keterpurukan ini..

    makasih sangat menginspirasi

    ReplyDelete
  2. aku yo ngroso sedih tenan... jogja juga terancam masalah keistimewaan.. wah arep dibawa kemana budaya ma jogja kita iki

    ReplyDelete
  3. masaaaa seech.. akyu dukung decchh...

    ReplyDelete

komentar Anda sangat berarti bagi bertambahnya ilmu kita

bernadtagger@ymail.com

Saya???

My photo
Saya adalah orang yang tidak mempunyai cita-cita, tapi saya adalah orang yang mempunyai mimpi. Dan saya akan terus mengejar mimpi-mimpiku itu, berlari dan terbang bersama angin